INILAHCOM, Jakarta - Hingga awal Desember 2017, inflasi cukup aman di level 3%. Nilai tukar juga oke di kisaran Rp13.500/US$, neraca dagang surplus. Tapi, daya beli terus melorot.
Dari tiga parameter di atas, perekonomian Jokowi atau acapkali disebut Jokowinomics, di atas kertas aman-aman saja. Namun realitasnya ada ganjalan besar, yakni daya beli yang terjun bebas.
Dalam bahasa warung kopi, rakyat bisa menyebut: 'duit seret'. Bahkan ada kalangan yang bikin plesetan daya beli menjadi daya bully. Lho, kok bisa?
Melemahnya daya beli tak terlepas dari kebijakan pengetatan anggaran yang dimotori Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Sri Mulyani. Ihwal ini banyak menjadi bahan perbincangan di kalangan pengamat.
Kebijakan pengetatan anggaran (austerity policy) yang SMI, sapaan bagi Sri Mulyani Indrawati lakukan, senafas dengan kebijakan Bank Dunia di Eropa yang tengah dilanda krisis.
Hasilnya oke? Ternyata tidak jua. Malah memperburuk situasi ekonomi dalam negeri. Di Indonesia, misalnya, terjadi stagnasi ekonomi di level 5%.
Padahal, Presiden Joko Widodo, sesuai janji kampanyenya, menyanggupi pertumbuhan ekonomi bisa 7,8% pada 2018. idealnya, tahun ini, pertumbuhan bisa 6%-7%, agar janji mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI itu semakin mudah direalisasikan.
Adapula kebijakan lain, yakni program pengampunan pajak atau Tax Amnesty yang menargetkan dana repatriasi Rp1.000 triliun, jauh panggang daripada api. Hingga 31 maret 2017, realisasinya baru Rp144,71 triliun (Data 2 Maret 2017).
Dalam kaitan ini, Menko Darmin dan Menkeu Sri Mulyani dianggap gagal dalam menjaga daya beli masyarakat dan menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi. Apalagi kemudian, kedua menteri itu sendiri hanya mengandalkan kekuatan sumber daya alam sebagai penopang pertumbuhan.
Makin nampak, jalannya perekonomian Indonesia kian hari kian terseok-seok. Berbagai kebijakan yang digelontorkan tim ekonomi dibawah komando Darmin dan Sri Mulyani, tidak cukup efektif untuk mengatrol perekonomian dalam negeri.
Bahkan, kebijakan Sri Mulyani semenjak diangkat Jokowi, sangatlah bersebrangan dengan prinsip-prinsip Trisakti dan Nawacita, yang menjadi pedoman sang presiden asal Solo ini.
Sejumlah negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, seperti Korea Selatan mengandalkan sektor manufaktur. Sebaliknya konsep dari Darmin dan Sri Mulyani, malah meninggalkannya. Wajarlah bila perekonomian kian melemah.
Di sektor konsumsi, sepanjang 2017, Adira Finance menangkap sinyal perlambatan penjualan mobil dan motor baru. Mau tak mau, perusahaan harus banting setir ke kendaraan bekas.
I Dewa Made Susila, Director Chief Financial Officer & Tranformation and Strategy Finance, mengatakan, tahun depan pun masyarakat masih akan menunda untuk membeli mobil atau motor anyar. Karena, kondisi perekonomian dikhawatirkan malah menurun. Nah, kalau kendaraan bekas jadi pilihan, itu indikasi perekonomian lagi sulit.
Kalau mau jujur, ekonomi Indonesia makin terbukti tidak seindah yang dipidatokan para menteri atau pejabat negara lainnya. Boleh saja secara akumulasi, pertumbuhan ekonomi mencapai berada di level aman yakni 5%. Tapi, penurunan di berbagai sektor seharusnya tak perlu terjadi.
Saat ini, kegiatan bisnis di Pasar Glodok, Jakarta, semakin sepi. Awalnya pengunjungnya sepi, kemudian berlanjut dengan pedagangnya yang sepi karena harus tutup. Hal serupa terjadi di pada WTC Mangga Dua dan Roxy Square yang dikenal sebagai pusatnya barang elektronik.
Kabar buruk juga tersiar dari bisnis properti di tanah air. Berdasarkan catatan Rumah.com Property Index (RPI), volume suplai properti mengalami penurunan signifikan di kuartal II-2017. Yakni sebesar 9,6%. Angka ini berbanding terbalik jika dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencatatkan kenaikkan 11,4%.
Konsumsi semen di dalam negeri pun sami mawon. Hingga semester I-2017, realisasinya mencapai 29 juta ton, atau turun 1,2% ketimbang periode di 2016. Pelemahan konsumsi semen merupakan indikasi belum optimalnya pembangunan.
Celakanya lagi, masih menurut analis ekonomi, sikap Presiden Jokowi yang tidak jelas soal reshuffle Kabinet Kerja. Dikhawatirkan bisa menggerus kepercayaan pasar.
Seperti disampaikan ekonom senior, Didik J Rachbini, reshuffle kabinet khususnya sektor ekonomi, perlu menjadi pertimbangan presiden. Salah satu tujuannya adalah untuk mengembalikan kepercayaan pasar.
Suka atau tidak, kata Didik, pertumbuhan ekonomi terus merosot, kurs rupiah terhadap dolar AS, melemah terus. Daya beli turun, harga-harga naik, investor ragu-ragu. "Ini jangan ditunda-tunda lagi, ini bahaya," ujar ekonom yang dikenal sebagai pendiri Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini.
Kini, suasana bangsa sedang dihadapkan pada dua persoalan yang kalau tidak segera diselesaikan akan mengancam stabilitas dan keutuhan bangsa. Kedua masalah itu: merebaknya isu "daya beli" yang terus melorot. Berbanding terbalik dengan "daya bully" yang terus meroket. [ipe]
Baca Kelanjutan Terpopuler - Jokowinomics = Daya Beli Turun, 'Daya Bully' Naik : http://ift.tt/2pQtOVXBagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Jokowinomics = Daya Beli Turun, 'Daya Bully' Naik"
Posting Komentar