Search

Terpopuler - Kemelut Ekonomi di Depan Jokowi

INILAHCOM, Jakarta--Periode kedua pemerintahannya, Jokowi akan berhadapan dengan perang dagang AS-China, defisit neraca transaksi berjalan yang melebar dan nilai tukar rupiah.

Sambil menunggu hasil sidang gugatan Pilpres 2019 yang diajukan duet Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno ke Mahkamah Konstitusi (MK), untuk sementara Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil hitung Komisi Pemiliha Umum (KPU).

Jika keputusan MK sama seperti hasil KPU, Pilpres 2019 memberi mandat kepada Jokowi untuk memimpin Indonesia hingga Oktober 2024. Pekerjaan sangat berat bagi Jokowi dalam lima tahun terakhir pemerintahannya, yakni rekonsiliasi para anak bangsa mulai dari elit hingga masyarakat bawah yang terbelah dan masalah perekonomian nasional yang sangat pelik.

Jokowi tampaknya akan kembali fokus pada pembangunan infrastruktur sebagai salah satu solusi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi, namun dia juga akan memberi perhatian besar pada pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Hanya saja, fokusnya pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan SDM bisa terhadang oleh perang dagang AS-China, defisit neraca transaksi berjalan yang melebar dan nilai tukar rupiah yang melemah. Inilah yang menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Jokowi ke depan.

Perang dagang AS-China belum ada tanda-tanda membaik, bahkan semakin runcing setelah Pemerintah AS memberlakukan Pasal 889 Undang-Undang Keamanan Nasional yang melarang lembaga-lembaga pemerintah, kontraktor, dan penerima hibah pemerintah membeli atau menggunakan produk raksasa telekomunikasi China, Huawei. Huawei balik menyerang dengan mengajukan mosi keberatan terhadap amar pertimbangan pengadilan.

Sejumlah analis menyatakan bahwa ada sinyal untuk memobilisasi konsumen patriotik China guna memboikot produk-produk telekomunikasi AS yang beredar di China.

Perang dagang AS-China tak hanya merugikan kedua negara pemilik ekonomi terbesar di dunia itu, tapi juga berdampak buruk terhadap negara-negara berkembangan, tak terkecuali Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia terancam lebih lebar, karena selama ini AS dan China merupakan pasar produk ekspor terbesar Indonesia. Risiko di depan mata adalah ini: ekspor Indonesia ke China melemah jika pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu ini melambat. Selain itu, ada pengalihan beberapa barang ekspor dari China yang tadinya ke AS menjadi ke Indonesia, seperti baja dan alumunium.

Di sisi lain, pemerintahan Presiden Donald Trump saat ini sedang mengevaluasi fasilitas generalized system of preference (GSP) yang diberikan kepada Indonesia. GSP adalah perlakuan khusus impor yang diberikan kepada sejumlah negara berkembang.

Ada 124 produk Indonesia, termasuk kayu plywood, cotton, produk-produk pertanian, udang dan kepiting yang masuk ke AS lewat fasilitas GSP. Jika GSP dicabut, Indonesia mau tidak mau harus membayar sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 25 triliun per tahun jika 124 produk itu ingin tetap masuk ke AS.

Situasi meresahkan

Jadi, situasi perekonomian global sangat mengkhawatirkan oleh sikap proteksionisme yang dibuat Trump, apalagi si kakek berusia 72 tahun ini mengancam untuk mengenakan bea masuk lebih tinggi terhadap mobil Uni Eropa (UE). UE pun siap membalas jika Trump merealisasikan ancamannya.

Sebelumnya, Trump sudah memberlakukan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium terhadap UE, termasuk Kanada dan Meksiko. UE kemudian membalas dengan mengenakan bea impor sebesar 25% terhadap berbagai produk AS.

Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, situasi ini meresahkan. Bulan April lalu neraca perdagangan sampai defisit sebesar US$ 2,5 miliar. Inilah defisit neraca perdagangan terbesar sejak 2013 yang tercatat US$ 2,3 miliar.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit neraca perdagangan kali ini disebabkan oleh defisit pada neraca migas sebesar US$ 1,49 miliar dan neraca nonmigas senilai US$ 1,01 miliar.

Ada sejumlah komoditas yang membuat nilai ekspor turun di bulan April dibandingkan Maret, yakni batu bara, minyak kernel, timah, dan nikel, meskipun sejumlah komoditas juga mencatat kenaikan harga seperti harga minyak mentah Indonesia, coklat, minyak sawit, dan seng. Tapi nilai impor naik 12,25% menjadi US$ 15,10 miliar.

Menjengkel memang. Sebab, bukan apa-apa, defisit perdagangan sebesar itu bisa mendorong defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) semakin melebar. Betul, pada kuartal I-2019 CAD "hanya" sebesar US$ 7 miliar, atau 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2018 yang mencapai US$ 9,2 miliar atau 3,6% dari PDB.

Tetapi, ya itu tadi, perang dagang yang dikobarkan oleh Trump sangat berdampak buruk bagi perekonomian banyak negara. Apalagi, pada 1 Juni nanti China mulai memberlakukan tarif impor baru sebesar 25% terhadap 5.140 produk senilai US$ 60 miliar.

Langkah China itu adalah balasan atas sikap Trump yang menaikkan tarif bea masuk dari 10% menjadi 25% terhadap barang-barang China senilai US$ 200 miliar dan rencana Paman Sam menaikkan tarif bea masuk terhadap barang-barang China senilai US$ 300 miliar.


Masalah capital inflow

Sampai seberapa lama saling "berbalas pantun" AS-China ini berlangsung? Tidak ada yang bisa memastikan. Jika perang dagang ini hanya berlangsung sementara, pasar pasti merespon positif. Jika sebaliknya, pasar hampir pasti menanggapinya negatif sehingga perekonomian dunia tumbuh melambat, bahkan mungkin stagnan.

Bank Sentral AS, The Fed masih terus mengamati perkembangan perang dagang AS-China. Untuk sementara The Fed masih mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 2,25%-2,5%. Jika perang dagang sampai menganggu pertumbuhan ekonomi AS dan inflasi, The Fed kemungkinan besar akan menurunkan suku bunga acuan.

Bank Indonesia (BI) juga masih "setia" mempertahankan suku bunga acuan, atau BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) di posisi 6%, meskipun sudah banyak pengusaha yang berteriak agar BI7DDR diturunkan. BI masih berharap besar arus masuk modal asing (capital inflow) ke Indonesia, sehingga bisa mempersempit pelebaran CAD dan menolong nilai tukar rupiah.

Hanya saja, selalu mengharapkan capital inflow sungguh tidak baik, karena uang tidak memiliki kewarganegaraan. Hari ini menetap di Indonesia, besok bisa tidur di Singapura, lusa terbang ke AS.

Itulah kenapa, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS kerap tidak pernah stabil. Beberapa waktu lalu sempat menguat menjadi Rp 13.900 per dolar AS, tapi sekarang berkisar Rp 14.445-Rp 14.500 per dolar AS.

Defisit neraca transaksi berjalan memang menjadi pokok masalah perekonomian Indonesia. Disiplin memperbaiki harus ada di kalangan menteri ekonomi. Kalau tidak, ya nasib rupiah begini terus dan CAD terus tertekan.[lat]

Let's block ads! (Why?)

Baca Kelanjutan Terpopuler - Kemelut Ekonomi di Depan Jokowi : http://bit.ly/2WcvwRn

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Terpopuler - Kemelut Ekonomi di Depan Jokowi"

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.