INILAHCOM, Jakarta -- Bisnis pakaian bekas semakin tumbuh subur. Jika tidak diperjualbelikan, pakaian bekas hanya akan menjadi sampah.
Dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri 1438 H, di Pasar Senen, pedagang pakaian bekas tumpah ruah memadati trotoar hingga ke bibir jalan. Para pembeli dari berbagai usia dan jenis kelamin membuat trotoar dan bibir jalan itu kian padat.
"Lima ribuan! Lima ribuan!" teriak seorang pedagang. "Sepuluh ribu aja! Bayar sepuluh ribu, sudah bisa pakai celana baru!" teriak pedagang di sebelahnya. "Bekas, Bang!" protes seorang calon pembeli.
Para calon pembeli yang lain, tampak sibuk sendiri, memilah-milah pakaian mana yang sesuai dengan ukuran badannya, atau pasangannya, atau anaknya. Mereka juga memeriksa dengan sangat hati-hati, melihat kecerahan warna, kelengkapan kancing, dan memastikan tak ada bagian pakaian yang sobek.
Jika beruntung, mereka bisa mendapatkan pakaian bermerek dengan harga seperdelapan kali lebih murah dari harga barunya di mall-mall. Pakaian bermerek ini tentu tak ada di tumpukan lima ribuan, para pedagang biasanya memisahkannya dan mematok harga jual lebih mahal. Meskipun begitu, ia tetap jauh lebih murah dari harga barunya, dengan kualitas 80% hingga 95%.
Di dalam pasar, pemandangan juga tak jauh berbeda. Gerai-gerai yang menyediakan pakaian seharga lima ribuan ramai oleh kerumunan. Gerai-gerai yang menjual pakaian lebih mahal, tampak lebih sepi.
Kalau di Jakarta ada Pasar Senen, di Medan ada Pajak Melati. Dalam bahasa sehari-hari orang Medan, pajak berarti pasar. Pajak Melati juga menjual pakaian bekas. Pengunjungnya tak hanya orang-orang yang penghasilannya rendah. Mereka yang transportasi sehari-harinya menggunakan mobil pribadi pun menjadi pelanggan setia Pajak Melati.
Pasar pakaian bekas ini ada hampir setiap kota. Di Bandung ada Cimol Gedebage, di Makassar ada Pasar Terong, di Surabaya ada Pasar Gembong, dan di Bali ada Pasar Kodok.
Masyarakat tak peduli, meski telah ada aturan yang melarang beroperasinya penjual pakaian bekas impor, tetap saja masyarakat menyerbu. Ya, selama ada permintaan, tentu saja, perdagangan akan terus berjalan.
Di Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi, Solo, penjualan baju bekas yang biasa disebut masyarakat setempat awul-awul meningkat hingga 40%. Pembeli berdatang dari berbagai wilayah, seperti Solo, Sukoharjo, Klaten, Sragen, hingga Jogja.
Hampir setiap hari, terutama pada saat mendekati Lebaran, tempat penjualan pakaian bekas selalu ramai diserbu pembeli dari mana-mana. Para pembeli tampaknya tidak lagi merasa malu-malu, mereka langsung berkeliling toko demi toko yang menjual pakaian bekas impor dan memborong beberapa pakaian sesuai dengan selera masing-masing.
Banyak warga yang memilih pakaian terbuat dari bahan jeans karena sebagian besar pakaiannya bermerek luar negeri dan sudah terkenal. Selain itu, harganya relatif lebih murah jika dibandingkan membeli pakaian baru.
Namun diantara semuanya umumnya yang paling laris adalah jenis kemeja lengan pendek maupun lengan panjang, celana panjang, celana pendek, sepatu, sandal jaket dan tas.
Sebenarnya, ada Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015, Pasal 3 Permen 51 itu yang mewajibkan setiap pakaian bekas yang masuk ke Indonesia harus dimusnahkan.
Namun, aturan ini rupanya tak menyurutkan para pedagang untuk meraup rejeki. Setiap hari, bandar pakaian bekas tetap berdatangan mendistribusikan ratusan bal pakaian bekas dari berbagai negara, seperti dari Cina, Taiwan, Korea, Singapura, Malaysia, dan sebagainya. Di Samarinda, barang bekas tersebut masuk melalui agen lewat jalur perbatasan di Nunukan.
Betul, dari perspektif pertumbuhan industri mode dalam negeri, perdagangan pakaian bekas barangkali berdampak buruk. Tetapi bagaimana dampaknya terhadap lingkungan?
Natural Resources Defense Council (NDRC) menyatakan air yang digunakan untuk memproduksi satu ton kain bahan celana dan kaos adalah sebanyak 200 ton. Lembaga non-profit berbasis di New York itu juga mengatakan bahwa seperlima dari polusi air di dunia berasal dari pabrik tekstil. Ini karena dalam memproduksi kain, digunakan 20 ribu bahan kimia.
Artinya, pakaian-pakaian bekas di Pasar Senen, Pajak Melati, Pasar Kodok, Pasar Gembong, Gedebage, dan pusat-pusat penjualan pakaian bekas lainnya hanya akan menjadi sampah jika tak diperjualbelikan. Membeli pakaian baru dan terus-menerus membuang pakaian bekas hanya akan menghabiskan sumber daya. [lat]
Baca Kelanjutan Terpopuler - Laris Manis Pakaian Bekas : http://ift.tt/2sak2PrBagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Laris Manis Pakaian Bekas"
Posting Komentar