Tren tie dye mendadak naik daun di tengah pandemi Covid-19. Namun, sesungguhnya tie dye bukan barang baru dalam dunia fesyen. Sejarah tie dye telah melanglang buana sejak lama.
Pada dasarnya, tie dye merupakan teknik pewarnaan kain dengan metode celup. Pada tie dye, kain diwarnai dengan mengikat beberapa bagian tertentu sebelum dicelup atau diwarnai hingga memberikan efek-efek tertentu. Hasil pewarnaan dengan teknik ini akan menghasilkan pola geometris, abstrak, atau bahkan kombinasi keduanya.
Di Indonesia, tie dye juga dikenal dengan istilah jumputan. Beberapa bahkan mengkombinasikan teknik jumputan dengan batik.
Tie dye sendiri bukan barang baru di dunia fesyen. Tie dye bahkan sempat menjadi metode yang diaplikasikan untuk pembuatan dekorasi berbasis tekstil di seluruh dunia selama lebih dari 600 tahun.
Tak ada literatur pasti yang mencatat awal mula munculnya teknik pewarnaan kain serupa tie dye. Beberapa percaya bahwa tie dye telah hadir sejak ribuan tahun lalu di kawasan Mesopotamia dan India. Beberapa juga mencatat teknik tie dye mulai ditemukan di Peru, Amerika Selatan (AS).
Beberapa juga percaya bahwa teknik pencelupan memiliki akar yang kuat di negara-negara Afrika. Mengutip Today, imigran Afrika membawa keterampilan teknik pewarnaan ini ke AS pada era 1700 hingga 1800-an.
Di Jepang sendiri, tie dye dikenal juga dengan istilah shibori. Teknik shibori bahkan disebut telah eksis sejak 552-794 Masehi.
Tie Dye Simbol Perlawanan
Di luar versi sejarah yang beragam, banyak orang mengasosiasikan tie dye dengan generasi bunga atau subkultur hippie di AS pada era 1960 hingga 1970-an.
Kala itu, tie dye menjadi simbol perlawanan bagi para 'hippies' terhadap budaya arus utama yang berlaku pada sat itu. Termasuk terhadap kapitalisme dan keseragaman yang tengah terjadi di tengah masyarakat saat penggunaan televisi mulai berkembang pesat. Tie dye menjadi pernyataan counterculture pada era itu.
Tie dye pun kemudian populer di kalangan hippies. Kaum hippies yang anti-kemapanan memuja tie dye yang dianggap sebagai produk yang lebih alami dan independen. Tie dye menghasilkan kain atau produk yang lebih individual dan unik karena hasilnya yang akan selalu berbeda pada setiap proses pembuatan.
Popularitas tie dye pun dilirik oleh perusahaan pewarna kain Rit Dyes. Lewat pemasaran pewarnaan kain yang praktis, Rit Dyes memperkenalkan teknik pewarnaan yang mudah diakses dan menghasilkan kain yang unik. Tie dye pun akhirnya membuat siapa saja bisa berpartisipasi dalam gerakan perlawanan lewat kreasi simbol perdamaian dan cinta.
Musisi John Sebastian tampil pada Woodstock Festival 1969 di Amerika Serikat dengan mengenakan busana tie dye. (Baron Wolman/The Museum at Bethel Woods/Via REUTERS).
|
Gongnya terjadi pada helatan musik bersejarah Woodstock Festival pada 1969. Mengutip Vox, beberapa musisi seperti Janis Joplin, John Sebastian, dan Joe Cocker tampil dengan mengenakan busana tie dye di atas panggung.
Menjajah Runway hingga Kembali Populer
Lambat laun, tie dye pun terus menancapkan taringnya di dunia fesyen. Tak lagi jadi simbol perlawanan, kini busana tie dye malah melenggang di atas panggung peragaan busana dari deretan desainer ternama.
Mengutip Vogue, pada kesempatan gelaran Milan Fashion Week Fall 2017, sejumlah desainer unjuk karya bernuansa tie dye. Warna-warni dalam ragam siluet busana dihadirkan oleh nama-nama desainer seperti Salvatore, Ferragamo, Marco de Vincenzo, Stella Jean, dan Massimo Giorgetti.
Kini, pesona tie dye kian kuat di tengah masa pandemi Covid-19. Teknik pewarnaan kain itu dinilai dapat menjadi pilihan aktivitas kreatif yang dapat memicu timbulnya perasaan bahagia.
Pada Mei lalu, pencarian kata kunci 'tie-dye' di platform media sosial Pinterest meninggal hingga 462 persen. Tampaknya orang berusaha menangkal rasa bosan dengan berkreativitas bersama tie dye.
Perwakilan Pinterest, Larkin Brown mengatakan, aktivitas yang memicu kegembiraan dan kreativitas seperti tie dye terasa sangat penting selama masa pandemi. Kreativitas dapat memicu timbulnya perasaan senang pada seseorang.
Tak hanya itu, kondisi global yang terjadi saat ini juga turut memicu hadirnya kembali tren tie dye. Kayla Marci, analis pasar Edited mengatakan, kelahiran tie dye di kondisi perubahan politik dan budaya mirip dengan kondisi yang terjadi saat ini. Mengutip South China Morning Post, Marci mengatakan, tak heran jika muncul kebangkitan tren-tren tertentu di tengah pandemi ini.
"Fesyen yang bersifat nostalgia bisa digunakan sebagai bentuk pelarian karena konsumen menghadapi masalah global termasuk pandemi, resesi, dan kerusuhan sipil," kata Marci.
(els/asr)"tren" - Google Berita
August 23, 2020 at 08:56AM
https://ift.tt/2QeyWhb
Sejarah Tie Dye, Simbol Perlawanan hingga Tren saat Pandemi - CNN Indonesia
"tren" - Google Berita
https://ift.tt/2FjbNEI
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sejarah Tie Dye, Simbol Perlawanan hingga Tren saat Pandemi - CNN Indonesia"
Posting Komentar