INILAHCOM, Jakarta - Ketua DPR Setya Novanto kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi E-KTP. Sebanyak 560 anggota DPR kini dipimpin oleh seorang tersangka. Publik menggugat sikap Novanto yang enggan mundur dari jabatannya. Padahal, belum lama ini, 7 juta warga DKI juga pernah dipimpin seorang tersangka yakni Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Apa bedanya?
Pandangan publik kini tertuju di gedung Senayan, DPR RI. Lembaga parlemen ini kini dipimpin oleh seorang tersangka kasus yang membetot perhatian publik belakangan. KPK menjerat Ketua Umum Partai Golkar itu menerima uang suap proyek E-KTP sebesar Rp574 miliar.
Rapat pimpinan DPR beberapa jam penetapan Setya Novanto sebagai tersangka memastikan kursi yang kini diampu Novanto tidak bergeser sebelum ada usulan pergantian dari fraksi atau partai tempat Novanto berasal. "Sejauh tidak ada perubahan dari partai atau fraksi maka tidak ada perubahan juga mengenai konfigurasi kepemimpinan DPR," ujar Wakil Ketua DPR, Fadli Zon di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa (18/7/2017) lalu.
Jika ditilik di sejumlah regulasi, seperti UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, status hukum pimpinan DPR sebagai tersangka memang tak menggugurkan status politiknya sebagai pimpinan DPR. Pimpinan DPR bisa diberhentikan sementara bila telah menjadi terdakwa dengan ancaman hukum lima tahun atau lebih (Pasal 87 ayat (5) UU MD3.
Secara legal formal, apa yang dilakukan Setya Novanto, DPR termasuk Partai Golkar benar secara hukum. Apalagi bila dibumbui dengan asas "praduga tak bersalah" yang harus disematkan pada diri Novanto. Ia baru disangka, proses hukumnya masih berliku dan tidak sebentar. Meski dari sisi etika, sikap ini dinilai keluar dari bingkai perspektif etika dalam bernegara.
Situasi ini sama persis saat menimpa Basuk Tjahaja Purnama saat ditetapkan oleh Polri menjadi tersangka dalam kasus penistaan agama. Desakan mundur dari sejumlah kalangan memang sempat megemuka, namun suaranya tak sederas yang menimpa Setya Novanto.
Bahkan kala itu, meski berstatus tersangka, Ahok dalam kapasitasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta tetap beraktivitas seperti sedia kala mendampingi Presiden Jokowi saat meninjau proyek pembangunan MRT pada 23 Februari 2017.
Saat itu, tidak sedikit kalangan pakar hukum tata negara meminta Mendagri menonaktfkan Ahok dari posisinya merujuk UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah karena yang bersangkutan diancam hukuman lima tahun penjara. Meski belakangan PTUN memutus, Presiden tak perlu menonaktifkan Ahok dari jabatannya meski dalam status tersangka.
Bukankah kasus dua tokoh yang sama-sama dibesarkan Partai Golkar itu berbeda? Ahok dalam kasus penistaan agama, sedangkan Setya Novanto kasus korupsi. Dalam perspektif hukum, status tersangka seseorang tidak dibedakan apakah terkait kasus pidana umum atau pidana khusus. Secara etik-moral, tuntutan dan dorongan agar mundur dari jabatan publik tidak memilah kasus yang dihadapi. Karena faktanya, baik Ahok maupun Novanto sama-sama berpikiran kasus yang menimpanya adalah bentuk kriminalisasi.
Belajar dari Ahok, Novanto baiknya tetap menjadi Ketua DPR hingga dirinya menjadi terdakwa kelak di pengadilan Tipikor. Rapat-rapat konsultasi dengan Presiden, termasuk menerima tamu negara, sebaiknya tetap dilakukan Novanto.
Dalam konteks ini, Ahok dan Novanto tak lebih seperti dua sisi koin mata uang. Toh, publik Jakarta pernah memaklumi dipimpin seorang tersangka selama berbulan-bulan lamanya hingga putusan pengadilan. Karena Novanto dan Ahok adalah kita, kita yang memaklumi dipimpin seorang tersangka. [mdr]
Baca Kelanjutan Terpopuler - Ahok dan Novanto Adalah Kita : http://ini.la/2392334Bagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Ahok dan Novanto Adalah Kita"
Posting Komentar