INILAHCOM, Jakarta - Hari-hari ini, Bank Indonesia (BI) rajin sekali mewacanakan ihwal penyederhanaan mata uang rupiah atau redenominasi. Dengan sejumlah argumentasi, redenominasi disebutkan sudah waktunya. Benarkah?
Gubernur BI Agus DW Martowardojo, misalnya, gencar bicara soal redenominasi. Tak mau nanggung, mantan menteri keuangan era SBY yang sempat diperiksa KPK lantaran dugaan korupsi e-KTP itu, minta dukungan Presiden Joko Widodo.
Kata bos BI itu, momentum redenominasi adalah saat ini. Alasannya, Indonesia punya modal ekonomi yang siap. Di mana, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2017 mencapai 5,01%.
Kata Agus, BI sudah menyampaikan kepada Komisi XI DPR agar kembali membahas RUU tentang Redenominasi."Kami jelaskan bahwa RUU Redenominasi mata uang sudah pernah masuk Prolegnas Prioritas 2013 kami ingin dimasukkan lagi tahun ini," kata Agus.
Dalam kaitan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga bersiap untuk segera mengajukan usulan RUU Redenominasi kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR, agar bisa dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Masalahnya, mungkin belum banyak yang sadar bahwa redenominasi bisa menjdai proyek empuk bagi elit BI dan instansi terkait untuk mengeruk duit rakyat.
Berbagai kalangan yang waras, sungguh khawatir kalau kebijakan redenominasi hanya dijadikan proye bancakan elit BI. Karena, dilihat dari sisi manfaatnya, sangat kecil namun perlu biaya besar.
Kecurigaan semakin menguat manakala petinggi BI kompak mendorong gagasan yang sempat dilontarkan BI pada 2010. Kala itu, Darmin Nasution yang kini menjabat Menko Perekonomian duduk sebagai Gubernur BI.
Selanjutnya, parlemen yang awalnya bersuara lantang, menolak gagasan tersebut bisa berbalik seratus delapan puluh derajat. Demikian pula dengan tim ekonomi, semuanya bisa satu suara.
Padahal, sekali lagi, redenominasi belum mendesak-desak amat. Pemerintah sebaiknya fokus mencari penerimaan negara sebesar-besarnya, atau concern dalam perundingan dengan Freeport.
Kalau jadi diketok palu, BI tentu harus mencetak uang baru. Di sinilah ada proyek besar serta dana besar yang harus dikeluarkan dari brangkas negara.
Jangan lupa, selain membutuhkan biaya besar, kebijakan tersebut kalau diterapkan nilai uang mengecil sementara harga barang bisa makin mahal. "Jadi nantinya kalau diterapkan ini inflasi. Karena kan kalau Rp 1.000 jadi dibuat Rp 1, harga yang tadinya Rp 100 bisa menjadi naik lagi," kata ekonom senior Rizal Ramli.
Apalagi, selain itu, Bank Indonesia juga baru mengeluarkan cetakan baru. Sebesar Rp 100 ribu, Rp 50 ribu dan lain-lain. Sehingga kalau harus mengeluarkan uang lagi maka redenominasi bakal jadi proyek-proyekan untuk garuk duit di tengah kesusahan ekonomi rakyat yang terus melemah.
Padahal redenominasi hanya bisa dilakukan kalau ekonomi rakyat kuat dan stabil. Sedangkan ekonomi rakyat tiga tahun terakhir ini terus melemah dan rentan, sehingga pelaksanaan redenominasi patut digugat sebab tidaklah perlu di tengah naiknya beban utang dan merosotnya ekonomi rakyat. Hanya para konglomerat dan kelas yang mapan yang mungkin menyambut redenominasi ini meski dengan tanda tanya pula.
Namun Sri Mulyani berbeda pendapat dan interes soal ini, karena dia mengaku cukup percaya diri akan perekonomian di tahun ini. Pasalnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah dianggap kembali memiliki kredibilitas. Selain itu, Indonesia juga telah mendapat peringkat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat.
Saat ini, RUU Redenominasi tengah dipersiapkan oleh pemerintah bersama dengan Bank Indonesia (BI). "Akan disampaikan dan dimasukkan ke Baleg. Kalau prosesnya dilakukan secara baik, ya kami nanti ikut menjaga," ucap Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/7/17).
Ini berarti redenominasi hanya tunggu waktu, dan rakyat rela dihisap duit dari dompetnya. Untuk menanggung biaya proyek BI, Kemenkeu serta DPR. Proyek ini jelas hanya menguntungkan para elite dan penguasa. [ipe]
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Ada Kepentingan Proyek di Balik Redenominasi?"
Posting Komentar