INILAHCOM, Jakarta--Entah kebetulan atau disengaja, beberapa hari belakangan barisan figur "ternama" ramai-ramai mengkritik posisi politik Rocky Gerung (RG) yang doyan mengkritik Presiden. Tak kurang dari Ketua DPD Golkar DKI, Rizal Mallarangeng, pemilik tukang survei, Denny JA, Lembaga Studi Filsafat Nahdliyyin (LSFN), skolar-skolar filsafat, dan seterusnya, turut ambil bagian dalam barisan tersebut.
Tak hanya itu, dua seminar filsafat diadakan di Jakarta dan Malang dalam waktu berselang tak terlalu lama, menghadirkan para pembicara kunci yang dianggap memiliki otoritas untuk berbicara filsafat. Melalui symptomatic reading, dua seminar itu secara samar-samar hendak menggugat gaya berfilsafat RG yang "genit", penuh sensasi, filsafat mengalami "malpraktik," menjadi alat "propaganda", "turun kelas," dan sebagian menyamakannya dengan kaum "sofis" pada epos Yunani kuno. Pendek kata, RG dianggap telah menyelewengkan filsafat dari makna awalnya karena mengkritik kekuasaan Presiden secara membabi-buta dan tak mengkritik--atau tak mau mengkritik--orang-orang/kelompok yang mengkritik pemerintah juncto oposisi.
Barangkali kalau bukan musim pemilu, kritik RG terhadap pemerintah yang selalu menusuk ulu hati itu tak bakal membuat banyak orang "waswas." Bahkan, mungkin untuk sebagian, utamanya komunitas-komunitas filsafat, kritik RG justru malah digandrungi, bukan hanya karena membuat kaum melineals melek politik dan filsafat, tetapi lebih dari itu, justru karena masyarakat umum jadi lebih paham "apa itu filsafat" sekaligus populer dengan istilah-istilah "filosofis." Dengan begitu, filsafat tidak hanya bisa dinikmati oleh "distinguish people" tetapi juga oleh orang-orang kebanyakan.
Namun karena musim pemilu, kritik RG yang belakangan pengaruhnya semakin melambung di udara--utamanya di kalangan melineals--membuat sebagian orang khawatir; ia bakal semakin sulit dikendalikan dan diisolasi, dan yang paling mengerikan, pengaruhnya bakal berdampak pada menurunnya elektabilitas Presiden dan calon Presiden. Untuk sebagian orang, sepak terjang RG bukan hanya mengkhawatirkan tetapi sekaligus membahayakan. Karena itu ikhtiar untuk mengendalikan dan mengisolasi kedigdayaan dan pengaruhnya harus segera dilakukan, setidaknya dengan, "katanya", mengembalikan filsafat pada habitatnya semula melalui para resi (skolar-skolar filsafat) dengan tagar #MenolakPembusukanFilsafat.
Jalan posisi
Sejak dahulu kala posisi politik RG ditakdirkan berada di "jalan oposisi." Takdir ini sepertinya bukan suatu kebetulan, tapi lebih semacam penghayatan-diri tentang makna berfilsafat. RG sepertinya paham betul bahwa "sejarah filsafat adalah sejarah oposisi." Apabila tidak ada oposisi, sejarah filsafat mungkin juga tak bakal ada. Makanya ia menempuh jalan itu.
Jalan oposisi RG bisa dilihat dengan menelusuri jejak-jejaknya di masa lalu. Bagi sebagian orang yang kenal "agak" dekat dengan RG, kritiknya yang tajam menusuk ulu hati sesungguhnya bukan barang kemarin sore. Ia telah malang melintang di dunia "kegetiran" itu sejak dahulu kala, sebelum pemerintahan demokratis di negeri ini dimulai. Bagi saya, justru kritikan RG hari kini sama tajamnya saat rezim SBY berkuasa, bahkan jauh sebelum rezim-rezim kemarin sore. Saat SBY berkuasa, misalnya, RG juga jarang atau bahkan tak pernah, mengkritik oposisisebagaimana ia juga tak melakukannya hari-hari kini. Dengan posisi ini tak ada satu pun orang yang mempersoalkannya sebagaimana sekarang.
Pada zaman SBY, RG juga sering mengisi acara tv-tv, utamanya tv oposisi, untuk mengkritik kebijakan pemerintah dan seterusnya. Seperti biasa, ia juga sering mengisi seminar-seminar, dan saya pernah mengundangnya dalam diskusi publik tak kurang dari 2 kali pada 2009 lalu. Dalam diskusi-diskusi tersebut, letupan-letupan idenya masih sama dan sangat khas: penuh kejutan, diksi dan artikulasi publiknya memikat sekaligus memukau, dan tampak sangat genial.
Namun demikian, nama RG di era sebelumnya tak semelambung seperti pada era ini. Penanda itu, setidaknya bisa dilihat dari slogan yang kini melekat dengan dirinya di lini masa dan forum tivi swasta yang bertajuk ILC: "No Rocky No Party." Tak hanya itu, RG juga digandrungi kaum melineals di berbagai daerah, utamanya yang memiliki akses pada tipi dan media sosial. RG seolah-olah menjadi magnet baru bagi kalangan melineals dari Sabang sampai Merauke. Bahkan, RG mengalahkan kepopuleran "Mukidi" yang sempat "ngehits" beberapa tahun belakangan.
Dalam amatan paling sederhana saya, setidaknya ada 2 hal yang membuat pengaruh RG meluas. Pertama, absennya kaum intelektual dan filsuf yang menempuh jalan oposisi. Kalaupun ada 1-2 intelektual yang menempuh jalan ini, sikapnya masih malu-malu kucing, khawatir dicap tidak "Pancasilais," satu baris dengan partai politik oposisi, penyebar hoax, dan melawan kekuasaan yang sah. Karena itu, tak ada kritik yang nyaring dari kaum intelektual, yang ada hanya samar-samar. Sebagian besar kaum intelektual dan filsuf terserap ke dalam kekuasaan, kalaupun tidak, mereka mengambil posisi absen.
Sementara pada saat yang sama, dan ini yang kedua, rezim penguasa saat ini tidak begitu paham dasar-dasar mengatur negara, amburadul, meminjam istilahnya Prof Salim Said, "amatiran," dan yang lebih parah lagi memainkan politik "Oposisi-Biner": menempatkan warga negara yang tak setuju kebijakan pemerintah sebagai "lawan"--mereka bukan bagian dari kita--bahkan sebagian ada yang ditangkap. Dengan demikian, situasi politik menjadi keruh, becek, menjenuhkan, dan memperkuat kesan bahwa rezim ini anti kritik. Menggambarkan situasi ini, junior saya yang masih melineals mengatakan: "Presiden sudah kaya Nabi, kalau kita kritik, kita akan dihujat oleh para pengikutnya."
Alhasil, tak ada kemeriahan dan kesemarakan berwarga negara, tak ada saling percaya antar warga negara, dan tak ada kohesi sosial di setiap lini pergaulan. Ruang-ruang publik penuh caci maki, di media sosial, forum-forum diskusi,talkshow tv-tv, dan seterusnya. Di tengah situasi politik yang involutif inilah, RG tetap berdiri tegap, menabuh genderang perang dengan suara lantang mengkritik pemerintah dengan kritikan yang tajam, logis, penuh metafor, dan pilihan diksinya memesona. Keberanian RG yang konsisten mengambil posisi politik jalan Oposisi, justru menuai panen yang melimpah. Pelan tapi pasti, banyak warga negara--khususnya kaum melineals--tiba-tiba mendapatkan juru bicara baru yang "tepat" di ruang-ruang publik menghadapi kekuasan.
Tak heran, dalam waktu yang relatif singkat, nama RG kian melambung tinggi di udara, digandrungi hampir oleh semua kalangan, mulai dari bapak-bapak, emak-emak sampai kaum melineals. Pernyataan-pernyataan politiknya di media sosial paling dicari dan tak kurang dari 4 juta orang telah menontonnya di channel Youtube. Tak hanya itu, ia diundang di banyak tempat dan lembaga untuk memberikan kuliah, menyampaikan pencerahan politik kepada ummat dari semua kalangan. Kehadirannya dielu-elukan, dan semakin hari, kaum melineals semakin banyak yang menjadi fans beratnya.
Apabila situasi ini terus berlanjut, maka pertanda tidak menguntungkan bagi Presiden yang juga calon Presiden; elektabilitasnya terancam, karena sebagaimana dikatakan di awal, RG menempuh jalan oposisi yang tentu menguntungkan bagi calon Presiden dan partai-partai oposisi. [bersambung]
Baca Kelanjutan Terpopuler - Ketika Filsafat Mengancam Elektabilitas (1) : http://bit.ly/2IslPYLBagikan Berita Ini
0 Response to "Terpopuler - Ketika Filsafat Mengancam Elektabilitas (1)"
Posting Komentar