Seorang kawan menggerutu karena di tempat asalnya, Makassar mulai diinisiasi tren seperti halnya Citayam Fashion Week (CFW). Anak muda dengan busana yang nyentrik dan kreatif berlenggak-lenggok di zebra cross layaknya model profesional di atas catwalk.
Gerutunya teman saya hanya gerutu kecil apabila dibandingkan dengan masyarakat umum, terutama para pengguna jalan yang ada di kota-kota Semarang, Solo, Surabaya, Malang, dan beberapa daerah lainnya yang sama-sama muncul tren serupa. Hak mereka sebagai pengguna jalan terganggu dengan perilaku para anak muda yang meniru tren CFW di Sudirman.
Tentunya ruang publik memang dapat diakses oleh siapapun dan menjadi ruang yang bebas bagi masyarakat untuk mengekspresikan kreativitas. Tapi, persoalannya adalah ketika wujud ekspresi itu justru mengganggu sesama pengguna fasilitas publik lainnya. Sejumlah kendaraan bermotor yang melintas pun terlihat merasa terganggu dengan aktivitas anak-anak muda itu.
Dalam sejumlah video di media sosial, terdengar suara klakson dari para pengguna jalan ketika ada pemuda yang melakukan fashion show di zebra cross. Di Sudirman sendiri, terlihat fasilitas bagi pejalan kaki direbut paksa oleh para makelar parkir. Kemacetan pun makin tak terelakkan. Tentu saja, ini membuat hak-hak penggunaan fasilitas publik lainnya jadi dirampas.
Disrupsi Sosial-Psikis
Tren CFW yang menyebar begitu cepat menjadi bukti sahih bahwa masyarakat Indonesia sangat cepat mengadopsi sebuah tren yang sedang ramai. Tren ini menjadi bagian dari perubahan sosial yang diciptakan oleh masyarakat, dalam hal ini para pemuda di Citayam, sebagai variasi cara hidup dan respons atas berbagai keterbatasan ruang-ruang publik untuk berekspresi secara bebas dan kreatif.
Dalam aspek perilaku, ini yang disebut sebagai disrupsi sosial-psikis; sebuah tren dapat mengubah perilaku seseorang dalam berekspresi di ruang-ruang sosial. Fenomena yang awalnya dicibir dan distigmatisasi secara negatif berubah menjadi apresiasi dengan diaktualisasikannya secara aktif dan masif oleh masyarakat di daerah-daerah lainnya.
Lebih jauh, tren CFW apabila dilihat dari kacamata behavior economic, dapat dikaitkan dengan fenomena herd instinct (naluri kerumunan) yang ditandai dengan dorongan untuk berperilaku mengikuti mayoritas dan tidak ingin dianggap berbeda.
Tapi saat ini, tren CFW, baik di bilangan Sudirman maupun di daerah-daerah lainnya memicu ketidaknyamanan karena mengganggu masyarakat umum, terutama pengguna jalan. Tren yang awalnya hanya bentuk ekspresi dari anak-anak muda di pinggiran Jakarta yang ingin bergaya dengan melepas sekat-sekat sosial di antara mereka, berubah menjadi tren yang gagap karena direspons secara brutal oleh kalangan urban terutama kelas menengah atas.
Keterlibatan kelas menengah atas dalam tren ini memicu ledakan perbincangan yang eksponensial di kanal-kanal media sosial. CFW tercatat beberapa kali trending di Twitter, ribuan kali berseliweran di reels dan Tiktok, serta menjadi buah bibir di berbagai channel Youtube. Tren ini ramai dibicarakan. Ibarat lalat yang mengerubungi nanah, para influencer dan selebritis berdatangan ingin mendulang engagement, dan pejabat publik tak mau kalah untuk sekadar berjalan dengan sumringah. Seluruh Indonesia tahu, mereka yang dari kota lain pun melihat.
Ledakan tren ini memicu perilaku irrational excuberance (irasionalitas gila-gilaan) oleh masyarakat di daerah lain. Hal ini dikarenakan mereka ikut mengadopsi tren ini secara gagap tanpa mempertimbangkan aspek kenyamanan para pengguna fasilitas publik lainnya. Mereka di daerah lain juga ingin terkenal dan ingin jadi perbincangan publik di media sosial. Di zaman yang tanpa sekat seperti saat ini, menjadi viral adalah value yang sangat penting dan dicari banyak orang.
Respons yang Konkret
Tren CFW kini mulai dikorporatisasi, baik secara terang-terangan oleh segelintir orang kaya, maupun secara sembunyi-sembunyi oleh para influencer melalui platform media sosial mereka. Tren yang meledak secara mendadak tentu tidak akan bertahan lama jika tidak dibarengi dengan kendali yang sehat oleh negara, selaku otoritas yang punya wewenang untuk menyediakan wadah ekspresi yang inklusif yang tidak merebut hak penggunaan fasilitas publik lainnya.
Apabila tren ini dibiarkan begitu saja tanpa respons yang konkret dari pemerintah, CFW hanya akan menimbulkan chaos antar sesama pengguna fasilitas publik. Masyarakat umum yang kesehariannya membutuhkan fasilitas publik sebagai sarana pendukung dalam beraktivitas akan merasa jenuh dan jengah.
CFW perlu dilihat sebagai sebuah gerakan murni dari anak muda untuk mengkritik tentang terbatasnya ruang-ruang berkreasi dan berekspresi. Tentunya kritik ini perlu direspons dengan sikap pemerintah yang memberdayakan, membina, dan mengarahkan ke arah yang positif agar berimplikasi secara sosial di lingkungan masyarakat. CFW akan sangat menjenuhkan apabila hanya berhenti sebagai aktivitas berlenggak-lenggok belaka.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif harus turun tangan untuk mendorong CFW agar bisa bertransformasi menjadi aktivitas yang lebih tertata, tertib, dan tidak mengganggu para pengguna fasilitas publik lainnya.
Muhammad Iqbal alumni UIN Walisongo Semarang, berkarier sebagai pekerja teks komersial di LSM
Simak Video 'Momen Sejumlah Orang Bubarkan Citayam Fashion Week':
(mmu/mmu)"tren" - Google Berita
July 29, 2022 at 03:05PM
https://ift.tt/H92nrfA
Gagap Tren dan Titik Jenuh "Citayam Fashion Week" - detikNews
"tren" - Google Berita
https://ift.tt/quEWTs2
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Gagap Tren dan Titik Jenuh "Citayam Fashion Week" - detikNews"
Posting Komentar