Seorang teman pemilik bisnis travel yang berbasis di Tokyo, Jepang bercerita ke saya, bahwa hari-hari ini publik Jepang sudah mulai leluasa bepergian ke luar rumah. Mereka bisa kembali nongkrong dan menjejali pusat-pusat perbelanjaan.
Saya bertanya, apakah ini artinya turis mancanegara bisa kembali plesiran ke Jepang? Dan jawaban dia, ternyata berbeda dengan apa yang saya pikirkan.
“Kalaupun turis asing boleh masuk, belum tentu wisatawan dari Indonesia diizinkan datang ke Jepang. Kan tahu sendiri, data soal Covid-19 di Indonesia tak bisa menjadi patokan,” kata dia sambil tertawa.
Saya ikut meringis. Antara lucu dan ironi. Tapi memang demikianlah yang terjadi.
Bahwa kelas menengah yang selama ini gemar menghabiskan uang dengan jalan-jalan ke luar negeri, akan sangat mungkin gigit jari. Setidaknya dalam waktu dekat ini.
Baca juga: Pandemi Corona, Luhut Ingin Pengembangan Wisata Danau Toba Tetap Berjalan
Uang mungkin masih ada. Yang berasal dari sisa-sisa sebelum pandemi terjadi, maupun refund tiket yang tak diberikan dalam bentuk tunai, tapi berupa credit di maskapai tertentu.
Ini memungkinkan para kelas menengah untuk kembali bepergian setelah pandemi reda. Namun, apakah memang demikian?
Ekosistem yang Perlahan Membesar
Pada tahun-tahun sebelumnya, leisure economy menjadi salah satu tumpuan harapan perekonomian banyak negara. Naiknya pendapatan pekerja ditambah dengan bermunculannya maskapai bertarif hemat, menjadi pendorong tumbuhnya demand di sektor leisure.
Di sisi lain, hadirnya berbagai platform digital seperti Airbnb dan sejenisnya, memunculkan suplai baru untuk menjawab kebutuhan traveller yang pola konsumsinya berubah.
Ekosistem dari leisure economy perlahan terbentuk dan membesar. Ekosistem ini tak hanya berisi pelaku bisnis wisata seperti pemilik hotel, restoran serta perusahaan transportasi. Lebih dari itu, perorangan pemilik aset (properti , kendaraan, dsb) turut menikmati kue yang ada dalam di dalam ekosistem ini.
Hal ini pula yang mendorong banyak negara berlomba-lomba menarik wisatawan. Mulai dari menyediakan berbagai infrastruktur, hingga memberikan bermacam-macam insentif bagi wisatawan asing, seperti halnya bebas visa, dan sebagainya.
Demikian pula di Indonesia. Ketika devisa dari ekspor terhambat oleh perang dagang antara China vs Amerika Serikat, sektor wisata-lah yang diharapkan menjadi penyelamatnya. Ya, wisata diharapkan menjadi quick win untuk mengatasi membengkaknya defisit neraca berjalan (current account deficit).
Memang tak dimungkiri, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB masih di bawah ekspor. Pada tahun lalu, sumbangan sektor ini masih di kisaran 8 persen terhadap PDB, sedangkan kontribusi ekspor barang dan jasa di kisaran 21 persen.
Namun, pemerintah optimistis sektor wisata akan berkontribusi lebih banyak ke PDB jika tren leisure economy ini bisa sustain. Berangkat dari itu, kemudian digagaslah berbagai destinasi wisata unggulan yang diberi titel Bali Baru.
Hanya Perubahan yang Tidak Berubah
Tidak ada yang berubah, kecuali perubahan itu sendiri. Hadirnya leisure economy berikut teknologi digital yang menyertai, telah mendisrupsi banyak hal.
Travel agent konvensional bertumbangan seiring dengan hadirnya platform digital yang memungkinkan konsumen menentukan sendiri akomodasi yang dibutuhkannya.
Sementara, perubahan konsumsi telah membuat pergeseran pilihan konsumen. Jika sebelumnya preferensi konsumen adalah membeli barang, lantas kemudian bergeser menjadi membeli experience.
Salah satu akibatnya yakni sepinya berbagai toko ritel. Sementara travel fair selalu dipenuhi pengunjung.
Hingga akhirnya datanglah wabah Corona, yang memunculkan babak yang sama sekali baru. Jika sebelumnya leisure economy “berhasil” mendisrupsi banyak hal serta membuka berbagai opportunity baru, saat ini trend itu sendiri yang terdisrupsi.
Corona pula yang menahan laju kebiasaan kelas menengah, yang sebelumnya gemar membeli experience melalui travelling dan waktu luang. Akibatnya, industri yang bergerak di sektor ini benar-benar terimbas.
Baca juga: Wisatawan Sepi, Pelaku Wisata Selam Mulai Terdampak Wabah Corona
Mengutip prediksi World Tourism Organization, industri pariwisata dunia pada tahun ini kemungkinan anjlok sebesar 58 persen hingga 78 persen dibandingkan dengan 2019. Selain itu, destinasi wisata dapat kehilangan pendapatan hingga 1 triliun dollar AS.
Di Indonesia, industri pariwisata benar-benar menghadapi kondisi yangmemprihatinkan. Di Bali misalnya. Per April 2020, jumlah wisatawan yang berkunjung anjlok hingga 90 persen. Pemerintah pun telah memprediksi bahwa devisa dari sektor pariwisata juga akan mengalami penurunan, yakni sekitar 50 persen dari tahun sebelumnya.
Apakah ini menjadi akhir dari tren leisure economy?
Sangat sulit mengatakan bahwa saat ini leisure economy masih bertahan. Bahkan, bisa dikatakan terpuruk.
Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak hal. Mulai dari hal-hal yang sifatnya struktural (kebijakan pemerintah, anggaran negara, dsb) hingga kultural yakni kebiasaan setiap orang. Termasuk kebiasaan untuk bepergian yang selama ini biasa dilakukan oleh para kelas menengah.
Namun demikian, ini tentu bukan akhir dari segalanya. Bagaimanapun, demand orang untuk selalu bepergian, akan tetap ada. Dan leisure economy kemungkinan akan bisa kembali, namun dengan diikuti oleh kebiasaan serta berbagai standard baru yang berbeda dari waktu sebelumnya.
Seperti cerita teman tadi yang mengatakan Jepang memperketat kunjungan wisatawan asing, hal ini sangat mungkin diterapkan oleh berbagai negara. Bahkan Indonesia pun menempuh kebijakan serupa guna membendung penyebaran Covid-19.
Ketika kondisi mulai pulih, tentu akan sulit untuk berharap bahwa setiap negara—termasuk Indonesia—akan memberi kelonggaran bagi wisatawan asing untuk masuk secara bebas.
Ini sebagaimana yang tertuang dalam riset yang dirilis oleh UN ESCAP, sebuah komisi PBB yang fokus pada kerja sama ekonomi dan sosial negara-negara kawasan Asia dan Pasifik. Bahwa berbagai negara kemungkinan akan menerapkan standard kesehatan bagi wisatawan asing yang ingin masuk.
Artinya, turis tak cukup hanya bawa uang, sebagaimana yang terjadi di waktu-waktu sebelumnya. Lebih dari itu, mereka harus dalam kondisi sehat saat masuk ke sebuah negara.
Berbagai kemungkinan ini sekaligus akan membuka opportunity baru bagi berbagai penyedia jasa layanan kesehatan untuk memberikan sertifikasi sehat yang berstandar internasional. Ya, bangkitnya leisure economy akan sangat mungkin diikuti oleh bergeliatnya industri layanan kesehatan yang embedded dengan industri pariwisata.
Baca juga: Spanyol Akan Buka Kembali Lokasi Wisata pada Juli 2020
Di sisi lain, kebiasaan setiap orang di masa pandemi juga akan menuntut pengelola wisata dan pemilik properti penunjang industri ini untuk lebih memerhatikan aspek kebersihan dan kesehatan. Tanpa memberi perhatian pada masalah kesehatan, siap-siap ditinggal pengunjung.
Bagaimanapun, wabah Covid-19 memunculkan kebiasaan-kebiasaan baru. Standard-standard baru yang lebih berorientasi pada aspek kesehatan. Di mana, hal ini kurang terlalu diperhatikan saat booming-nya leisure economy waktu sebelumnya.
Alih-alih mengatakan leisure economy meredup, saya kok jadi berpikir bahwa yang akan muncul bukanlah tren leisure economy sebagaimana waktu-waktu sebelumnya, namun tren baru yakni quality leisure economy.
"tren" - Google Berita
May 27, 2020 at 11:43AM
https://ift.tt/2M3qtLK
Pandemi Covid-19, Akhir dari Tren Leisure Economy? - Kompas.com - KOMPAS.com
"tren" - Google Berita
https://ift.tt/2FjbNEI
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pandemi Covid-19, Akhir dari Tren Leisure Economy? - Kompas.com - KOMPAS.com"
Posting Komentar